Arbitrase dalam Syariat Islam

arbitrase

ARBITRASE DALAM SYARIAT ISLAM

Ditulis oleh :

Moh. Fernanda Gunawan – Justitia Student Representative –

Mahasiswa Semester III Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera – Jakarta

Kemajuan globalisasi sangat terasa dan mampu mempengaruhi semua bidang kehidupan. Namun, diantara banyaknya kemajuan yang melanda dunia ini, ada satu kemajuan yang paling signifikan, yaitu kemajuan di bidang ekonomi, khususnya perdagangan. Kemajuan perdagangan di dunia ini tentu memberikan dampak positif. Namun, tak terlepas dari dampak negatif, seperti perbedaan pendapat, bahkan salah satu pihak melakukan wanprestasi terhadap kontrak dagang yang memunculkan sengketa. Tentu hal ini harus diselesaikan dengan kepuasan bagi kedua belah pihak, juga keadilan bagi pihak yang bersengketa. Salah satu penyelesaian sengketa yang cukup populer itu adalah arbitrase.

Arbitrase adalah cara peyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum berdasarkan pada perjanjan tertulis oleh para pihak arbitrase[1]. Dahulu, sebelum arbitrase berlaku di Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, aturan terkait dengan arbitrase di atur dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang berbunyi: “Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing mengkhendaki perselisihan diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Tentu untuk menggunakan lembaga tersebut (lembaga Eropa) membutuhkan perjanjian berbentuk tertulis dari kedua belah pihak. Namun, untuk aturan yang lebih lanjut tentang arbitrase terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Rv) pasal 615 s.d. 651.

Gunawan Widjaja mengutip penjelasan umum Undang Nomor 30 tahun 1999, pada umumnya pranata arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pranata peradilan, yaitu:

  1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
  2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif
  3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup dalam menangani masalah yang disengketakan, jujur dan adil.
  4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya, serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase, dan
  5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara sederhana saja ataupunlangsung dilaksanakan.

ARBITRASE DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Penyelesaian sengketa menurut hukum Islam dapat diselesaikan melalui pengadilan, maupun melalui arbitrase di luar pengadilan, sama halnya dengan penyelesaian sengketa biasa yang dapat diselesaikan secara litigasi dan non litigasi[2]. Namun, tetap menggunakan syariat Islam sebagai sumber hukumnya. Dalam literatur Islam dikenal istilah al-Qadha, secara harfiah memutuskan atau menetapkan[3] dan menurut hukum fiqh menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikan secara adil dan mengikat[4]. Lembaga peradilan semacam ini berwenang menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang mencakup perkara dalam al-ahwal asy-syakhshiyah (masalah keperdataan) dan masalah jinayat (pidana)[5]. Menurut Rifyal Ka’bah sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, bahwa peradilan Islam mempunyai arti ucapan mengikat yang keluar dari kekuasaan publik, atau kata putus dalam masyarakat berdasarkan kebenaran atau diartikan juga dengan putusan yang sesuai dengan apa yang diturunkan Allah dan pemberitaan tentang ketentuan hukum syara’ (sah secara islam) dan mengikat[6]. Kekuasaan al-Qadha terletak di tangan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mewujudkan ketentraman dalam masyarakat banyak. Sedangkan orang yang berwenang menyelesaikan perkara pada pengadilan semacam ini disebut dengan qadhi (hakim)[7].

Disamping penyelesaian sengeketa melalui al-Qadha, Islam memberikan alternatif untuk menyelesaikan sengketa dengan menunjuk seorang atau lembaga yang dipercaya untuk menyelesaikan sengketa tersebut, yaitu Tahkim.

TAHKIM

Tahkim secara harfiah adalah menjadikan seseorang sebagai penengah untuk menyelesaikan suatu sengketa. Menurut Muhammad Salam Mazkur sebagaimana yang dikutip oleh Fathurrahman Jamil bahwa secara terminologis, tahkim berarti pengangkatan seorang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisikan secara damai[8]. Lebih lanjut, Faturrahman mengatakan bahwa tahkim merupakan peninggalan tradisi Arab pra Islam, sehingga di islamkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad perah bertindak sebagai hakam (arbiter/wasit) dalam perselisihan peletakan kembali hajar aswad pada tempat semula di Makkah. Terjadinya perselisihan antara kaum Quraish tentang siapa yang berhak untuk meletakkan batu suci itu. Jalan keluar yang ditempuh oleh kedua belahpihak adalah memberikan kehormatan kepada orang yang pertama datang ke Ka’bah melalui pintu syaibah. Ternyata orang yang lebih dahulu sampai adalah Nabi Muhammad. Lalu, mereka bersepakat dan rela dengan penyelesaian yang dilakukan oleh Muhammad[9]. Itulah salah satu contoh atau gambaran tentang implementasi tahkim saat itu, sampai akhirnya Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul, bahkan ia menjadi kepala negara dan hakim yang menyelesaikan segketa di kalangan umat Islam. Bukan hanya Rasul, beberapa sahabat pun pernah menjadi hakam untuk menyelesaikan suatu sengketa, misalkan Abu Syuraih, Zaid bin Tsabit, Said ibn Mu’az, dll.

Tentu ketika melihat contoh diatas dapat dikatakan bahwa tahkim mempunyai manfaat dalam menyelesaikan sengketa yaitu kehadirannya akan membantu pengadilan pemerintah dalam mewujudkan perdamaian ditengah masyrakat. Pengadilan pun tidak memakan waktu lama karena para sahabat bersepakat untuk menyelesaikannya di luar pengadilan. Juga tujuan dari tahkim itu sendiri adalah menyelesaikan sengketa dengan damai, sedangkan perdamaian adalah jalan terbaik dalam islam, artinya tujuan dari tahkim itu sendiri sangat sejalan dengan tujuan Islam yaitu kedamaian.

 

[1] Susilawetty, 2013, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Bekasi, Gramata, hlm. 1.

[2]Ibid, hlm. 123.

[3]Satria Effendi M. Zein, 1994, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta, Badan Arbitrase Mumalat Indonesia, hlm. 5.

[4]Susilawetty ,loc. cit, hlm. 123

[5]Satria Effendi M. Zein ,loc. cit. hlm 5

[6] Abdul Manan, 2010, Etika Hakim dalam Penuyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Peradilan Islam, Jakarta, Kencana Media Group, hlm. 6.

[7]Susilawetty, loc. cit. hlm. 124.

[8] Faturrahman Jamil, 1994, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta, Badan Arbitrase Mumalat Indonesia, hlm. 31

[9] Ahmad Syalabi, 1990, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta, Pustaka Al-Husna, hlm. 80.

 

Catatan :

Ingin Tulisanmu dimuat di www.justitiatraining.co.id? silahkan kirimkan ke redaksi@justitiatraining.co.id atau hubungi kami di 0815 9736 977